Ini kisah pengalamanku, pada tahun 90-an , honor menulis berita dan mengisi tulisan apa saja satu artikel 5.000 perak. Sebuah jumlah yang sangat kecil dibanding media-media lainnya, maklumlah media pendidikan kala itu hidup dari SBPP yang datangnya tiap 3 bulan sekali oleh sekolah-sekolah yang umumnya berlangganan. Pada sebuah kesempatan mungkin lebih 3 bulan aku menulis dan banyak tulisanku dimuat, aku bersama istri dan anak berangkat ke Bandung sekedar jalan-jalan karena istriku belum tahu itu kota Bandung, maksudnya sembari mampir ke kantor redaksi. Jadilah aku berangkat pagi dan pulang sore pakai Dambri yang ongkos nya masih 4.750,-. Saya pun menghitung kira-kira jumlah honor akan mencukupi untuk transpor pp dan jajan di jalan bersama keluarga. Apalagi saya menulis di banyak media di bandung kala itu.
Ketika sampai di Bandung aku langsung ke kantor redaksi aku pilih kantor dedaksi yang banyak memuat tulisanku dan meminta honor. Ketika itu di meja kasir aku mendapatkan data honorku sejumlah Rp. 190.000,- jumlah yang cukup besar kala itu. Kemudian kasir membayar julah itu padaku, dengan memandang padaku. Aku sendiri hanya mengingat istri dan anakku yang masih digendong. Ung sebesar tu tentu bisa makan enak dan pulang membawa oleh-oleh untuk tetangga sekadar tempe goreng. Namun hati tak dapat bertahan. Kutanyakan pada staf yang bekerja sebagai kasir itu berapa gaji sebulannya dibayar dari redaksi. Ketika dia menjawab Rp 30.000,- betapa kagetnya aku. Lalu aku berikan Rp 30.000,- sekedar rasa pada staf kasir itu. Katanya : "Pak besar sekali aku tidak mau ini?" lalu aku memaksa sambil mengataka,"Untuk kamu, ga apa-apa",. Ketika di jalan di luar kantor istriku bertanaya kenapa memberi uang orang lain. Lalu kataku " Jangan khawatir Mah , diotakku masih ada ribuan tulisan' kataku sambil menunjuk dahiku dan meninggalan kantor redaksi kecil itu.